Menghindar dari Takdir kepada Takdir-Nya yang Lain

' ' ' Ketika di Syam (Syria, Palestina, dan sekitarnya) terjadi wabah, Umar ibn Al-Khaththab yang ketika itu bermaksud berkunjung ke sana membatalkan rencana beliau, dan ketika itu tampil seorang bertanya: "Apakah Anda lari/menghindar dari takdir Tuhan?" Umar r.a. menjawab, "Saya lari/menghindar dari takdir Tuhan kepada takdir-Nya yang lain... 

    Demikian juga ketika Imam Ali r.a. sedang duduk bersandar di satu tembok yang ternyata rapuh, beliau pindah ke tempat  lain. Beberapa orang di sekelilingnya bertanya seperti pertanyaan di atas. Jawaban Ali  ibn Thalib,  sama  intinya dengan   jawaban   Khalifah   Umar r.a.  Rubuhnya  tembok, berjangkitnya penyakit adalah berdasarkan  hukum-hukum  yang telah ditetapkan-Nya, dan bila seseorang tidak menghindar ia akan menerima akibatnya. 
    Akibat yang  menimpanya  itu  juga adalah  takdir,  tetapi  bila  ia  menghindar dan luput dari marabahaya  maka  itu  pun  takdir.  Bukankah  Tuhan   telah menganugerahkan   manusia kemampuan memilah  dan  memilih? Kemampuan ini  pun  antara  lain  merupakan  ketetapan atau takdir  yang dianugerahkan-Nya 
   Jika demikian, manusia tidak dapat luput dari  takdir, yang  baik  maupun  buruk.  Tidak bijaksana  jika hanya  yang  merugikan  saja  yang  disebut takdir,  karena  yang  positif  pun takdir.  Yang  demikian merupakan  sikap 'tidak menyucikan Allah, serta bertentangan dengan petunjuk Nabi Saw.,'  "...  dan  kamu harus  percaya kepada takdir-Nya  yang  baik  maupun yang  buruk." Dengan demikian, menjadi jelaslah kiranya bahwa adanya takdir tidak menghalangi  manusia untuk berusaha menentukan masa depannya sendiri, sambil memohon bantuan Ilahi
    Manusia mempunyai kemampuan terbatas  sesuai  dengan  ukuran yang  diberikan oleh Allah kepadanya. Makhluk ini, misalnya, tidak dapat terbang. Ini merupakan salah  satu  ukuran atau batas kemampuan yang dianugerahkan Allah kepadanya. Ia tidak mampu melampauinya, kecuali  jika  ia  menggunakan  akalnya untuk  menciptakan  satu  alat, namun akalnya pun, mempunyai ukuran yang tidak mampu dilampaui.  
    Di sisi lain, manusia berada di bawah hukum-hukum Allah sehingga segala yang kita lakukan pun  tidak terlepas  dari  hukum-hukum yang  telah mempunyai  kadar  dan  ukuran
tertentu. Hanya  saja karena hukum-hukum tersebut cukup banyak, dan kita diberi kemampuan memilih-tidak sebagaimana matahari dan bulan misalnya- maka kita  dapat  memilih  yang mana  di  antara   takdir   yang ditetapkan   Tuhan   terhadap  alam  yang  kita  pilih.                        Api ditetapkan Tuhan panas dan membakar, angin dapat menimbulkan kesejukan  atau  dingin;  itu  takdir Tuhan  -manusia boleh memilih api yang membakar atau angin yang sejuk.         Di  sinilah pentingnya  pengetahuan  dan  perlunya ilham  atau petunjuk Ilahi. Salah satu doa yang diajarkan Rasulullah adalah:

 ' ' ' Wahai Allah, jangan  engkau  biarkan  aku  sendiri  (dengan pertimbangan nafsu akalku saja), walau sekejap."

Apakah Takdir Merupakan Rukun Iman?
   Perlu digarisbawahi bahwa dari sudut pandang studi Al-Quran, kewajiban  mempercayai adanya  takdir tidak secara otomatis menyatakannya sebagai satu di antara rukun iman  yang enam. Al-Quran  tidak  menggunakan  istilah  "rukun" untuk takdir, bahkan  tidak  juga  Nabi Saw. dalam  hadis-hadis  beliau. Memang,  dalam  sebuah  hadis  yang diriwayatkan oleh banyak  pakar  hadis, melalui sahabat  Nabi  Umar  ibn  Al-Khaththab,   dinyatakan   bahwa suatu ketika  datang  seseorang  yang berpakaian sangat  putih,  berambut  hitam  teratur, tetapi tidak  tampak pada penampilannya bahwa ia seorang pendatang, namun, "tidak seorang  pun  di  antara  kami  mengenalnya." 
    Demikian  Umar r.a. Dia bertanya tentang Islam, Iman, Ihsan, dan saat kiamat serta tanda-tandanya. Nabi  menjawab  antara lain dengan menyebut enam perkara iman, yakni percaya kepada Allah,  malaikat-malaikat-Nya,  kitab-kitab-Nya,  Rasul-rasulNya, hari  kemudian, dan "percaya  tentang takdir-Nya yang baik dan yang buruk." Setelah sang penanya pergi, Nabi menjelaskan bahwa, "Dia itu Jibril, datang untuk mengajar kamu, agama kamu." Dari  hadis ini, banyak  ulama merumuskan enam rukun Iman tersebut. Seperti dikemukan di atas, Al-Quran tidak  menggunakan  kata rukun,  bahkan  Al-Quran  tidak pernah menyebut kata takdir dalam satu rangkaian  ayat  yang  berbicara  tentang  kelima perkara  lain  di  atas.  Perhatikan firman-Nya dalam surat Al-Baqarah (2): 285 :  "Rasul percaya tentang apa yang  diturunkan  kepadanya  dari Tuhannya, demikian juga orang-orang Mukmin. Semuanya percaya kepada   Allah,   malaikat-malaikat-Nya,    kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian." Dalam QS Al-Nisa' (4): 136 disebutkan: "Wahai  orang-orang  yang beriman, (tetaplah) percaya kepada Allah dan Rasul-Nya, dan kepada kitab yang diturunkan kepada Rasul-Nya,  dan  kitab yang disusunkan sebelum (Al-Quran). Barangsiapa yang tidak percaya kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya,  Rasul-rasul-Nya,  dan  hari kemudiam, maka sesungguhnya dia telah sesat sejauh-jauhnya."
    Bahwa kedua ayat di atas tidak menyebutkan  perkara  takdir, bukan  berarti  bahwa  takdir tidak wajib dipercayai. Tidak! Yang  ingin   dikemukakan   ialah   bahwa   Al-Quran   tidak menyebutnya sebagai rukun, tidak pula merangkaikannya dengan kelima perkara lain yang disebut dalam hadis Jibril di atas. Karena  itu, agaknya dapat dimengerti ketika sementara ulama tidak menjadikan  takdir  sebagai  salah  satu  rukun  iman, bahkan dapat dimengerti jika sementara mereka hanya menyebut tiga hal pokok, yaitu keimanan kepada Allah, malaikat,  dan hari  kemudian.  
    Bagi penganut pendapat ini, keimanan kepada malaikat mencakup keimanan tentang apa yang mereka sampaikan (wahyu Ilahi), dan kepada siapa disampaikan, yakni para Nabi dan Rasul. Bahkan  jika  kita  memperhatikan   beberapa   hadis Nabi, seringkali  beliau hanya menyebut dua perkara, yaitu percaya kepada Allah dan hari kemudian. "Siapa yang percaya kepada Allah  dan  hari  kemudian,  maka hendaklah  ia  menghormati tamunya. Siapa yangpercaya kepada Allah dan hari kemudian, maka hendaklah ia menyambung  tali kerabatnya.   Siapa  yang  percaya  kepada  Allah  dan  hari kemudian, maka hendaklah ia berkata benar atau diam."
   Demikian salah satu sabdanya yang diriwayatkan oleh  Bukhari dan Muslim melalui Abu Hurairah. Al-Quran  juga  tidak  jarang  hanya  menyebut dua di antara hal-hal yang wajib dipercayai. Perhatikan  misalnya  surat Al-Baqarah (2): 62 :  "Sesungguhnya  orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, Nasrani, Shabiin (orang-orang yang  mengikuti  syariat Nabi zaman  dahulu,  atau orang-orang yang menyembah bintang atau dewa-dewa), siapa saja di antara  mereka  yang  benar-benar beriman  kepada Allah dan hari kemudian, dan beramal saleh, maka mereka akan menerima  ganjaran  mereka di  sisi  Tuhan mereka,  tidak  ada rasa  takut atas mereka, dan tidak juga mereka akan bersedih."
     Ayat ini  tidak  berarti  bahwa  yang  dituntut  dari  semua kelompok yang disebut di atas hanyalah iman kepada Allah dan hari kemudian, tetapi bersama keduanya  adalah  iman kepada Rasul,   kitab  suci,  malaikat,  dan  takdir.  Bahkan  ayat tersebut dan semacamnya hanya menyebut dua hal pokok, tetapi tetap  menuntut  keimanan  menyangkut  segala  sesuatu yang disampaikan oleh Rasulullah Saw., baik  dalam  enam  perkara yang  disebut  oleh  hadis Jibril  di  atas, maupun perkara lainnya yang tidak disebutkan.
   Demikianlah pengertian takdir dalam  bahasa  dan  penggunaan Al-Quran.
-- media.isnet.org/islam/Quraish/Wawasan/Takdir3.html

Post a Comment

Previous Post Next Post